Usaha pemerintah untuk menggalang kerukunan antar umat beragama, sebetulnya sudah mulai dan ada sejak adanya bangsa Indonesia lebih konkret sejak Indonesia menjadi satu negara merdeka. Angin segar dialog antar agama mendapat bentuk yang lebih konkret semenjak prof. Dr. H. Mukti Ali menjabat sebgai Menteri Agama RI (1971) yang diupayakan dalam Dialog Pemuka Agama. Upaya ini menghadirkan tokoh-tokoh pelbagai agama dalam satu forum percakapan bebas dan terus terang dimana masing-masing pihak saling mengemukakan pendapatnya tentang masalah-masalah yang menjadi kepentingan agama. Merujuk pada catatan Johan Efendi, bahwa sejak tahun 1972-1977 tela diselenggarakan 23  kali dialog di 21 kota. Topik-topik yang menjadi agenda utama adalah Kerukunan Dan Toleransi antar agama, Kode Etik Pergaulan dan Penyebaran agama, Nilai-nilai agama dalam pembangunan, Nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat modern.



Rumusan-rumusan yang dihasilkan tidak lebih dari mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang universal seperti: hendaknya dikembangkan sikap hormat- menghormati antar umat beragama dan Penganut Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berusaha untuk tidak menyinggung perasaan agama lain.  Mungkin data singkat ini kurang memiliki keselarasan dengan kenyataan (dialog) masa kini, tetapi paling tidak kita bisa mengulur tali relevansi dari perumusan dialog terdahulu. Kalau dahulu dianjurkan agar tidak menyinggung doktrin agama atau yang bersifat teologis,  maka sekarang waktunya membicarakan kedua hal itu. Bila diteliti lebih jauh sebab konflik antar agama, dijumpai kurangnya pemahaman terhadap unsur hakiki dari setiap agama, dimana unsur itu membawa pesan keselamatan dunia. Pesan inilah yang menjadi sumber kontraditatif ketika agama-agama dibahas. Akibatnya lahir ketidakpercayaan kolektif dalam diri setiap agama  yang secara sadar atau tidak sadar melahirkan prasangka. Selama prasangka kolektif ini melekat dalam diri agama-agama maka kerukunan sebenarnya masih samar-samar.
Agar bisa tiba pada titik terang, maka mau tidak mau doktrin dan segala persoalan teologis mesti dibicarakan secara jujur dan terus terang dalam dialog, dan harus secara terbuka mengaku dan menghargai keunikan-keunikan yang ada pada setiap agama. Dalam mendalami setiap doktrin atau persoalan teologis, tidak bermaksud untuk mencari tahu ajaran agama mana yang paling benar; tetapi dari upaya itu bisa ditemukan satu titik terang agar bisa keluar dari prasangka-prasangka buruk dan memiliki pemahaman yang baik dan benar tentang ajaran suatu agama. Kerukunan antar umat beragama di Indonesia saat ini dapat dikatakan sudah cukup baik bila dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Hanya perlu secara jujur diakui bahwa, dibeberapa tempat masih ditemukan insiden-insiden berbau SARA. Mungkin (bisa saja bukan sebuah kemungkinan) ketidakpahaman akan toleransi menjadi salah satu penyebab; atau pemahaman akan nilai toleransi justeru dikaburkan oleh prasangka. Hal serupa yang dapat dijumpai (walaupun tidak ada aktivitas fisik yang berbahaya ); bahwa ada pemeluk agama tertentu yang menyuarakan kebencian: ini beredar secara liar di dunia internet. Kenyataan ini mau menunjukan bahwa adanya kemiskinan dalam toleransi yang berdampak pada fanatisme dan sentimen agama. Ini persoalan serius yang sangat mengganggu keselamatan bangsa.  


Untuk mewujudkan toleransi yang sejati di Indonesia; bukan hanya dialog, tetapi melalui media itu hendaknya ada penerimaan akan perbedaan, terutama hal yang paling hakiki dari setiap ajaran agama, dan  bukan berusaha membuat kesamaan: sebab dasar doktrin dan teologis itu tidak sama tetapi memiliki pesamaan tujuan. Berikut cuplikan pidato Kenegaraan presiden  Soeharto (15-8-1974) yang sangat relevan dalam kemajemukan di Indonesia.
Kita memang berbeda-beda tetapi kita bertekad untuk bersatu. Apabila kita ingin bersatu, maka persoalan pokoknya bukan menghilangkan perbedaan-perbedaan tadi. Itu adalah mustahil karena bertentangan dengan kodrat. Biarlah perbedaan-perbedaan itu ada. Yang kita usahakan adalah bagaimana perbedaan-perbedaan itu dapat tetap mempersatukan kita dalam persatuan yang indah, seperti indahnya warna pelangi.