SENJA YANG MENANGIS


Sunset biasanya menjadi tanda awal bahwa siang akan berganti malam. Di bawah langit membias cahaya Kuning kemerah-merahan di atas puncak bukit bak mahkota buatan tangan seniman ulung yang sulit ditangkap akal manusia. Ini situs alam terjadi bersama perjalanan lempeng tajam yang kerap dipanggil waktu.
Tak sedikit yang bisa menatapnya, dan hanya sebagian kecil dari mereka yang bisa melihatnya seperti mahkota. Mungkin ini perkara geografis. 

Seperti fatamorgana Ia ada di ujung bukit hunian makhluk tak berbudi yang kini dunia menyanjungnya. Ia meninggal dan bangkit, dan hanya mereka yang memiliki kemerdekaan sejatilah yang bisa menikmatinya secara lahiriah dan batiniah.
Agak tersentak bila pembaca melihat judul di atas: sunset yang menangis; sebab dia tidak pernah meratap apalagi mencucurkan air mata bagi apa yang ada di sekelilingnya.

Ia sebuah hadiah yang terdampar di ujung pemukiman makhluk tak berbudi yang dipuja dunia.
Tangisan itu sebuah gambaran antropomorfis. Ada kepala, tangan dan kaki yang cukup nakal; secara berlebihan menindas.

Kendati begitu ia tetap tersenyum; hanya saja pintu singga sana masih terkatup dan hanya samar-samar menatap dari kejuhan sebab banyak diantaranya yang masih menderita kehilangan Rasa. Terhadapnya sulit ditemukan penawar. 



Ada tempat yang lebih dalam yang secara tahu dan mau mesti diselami; bukan soal kepandaian, melainkan rasa memiliki dalam dan bersama yang lain, tidak disangkutkan dengan satu diri dan wadah kolektif yang memiliki relasi dengan diri itu. Di ke dalaman yang bukan saja perkara  badaniah rasa itu bisa dijumpai bila ada keterlibatan inti kebaikan yang tak terjamah budi dan karya jiwa raga demi ada bersama yang lain. 

Post a Comment

0 Comments